WEBSITE PDI PERJUANGAN

The Pioneer of PDI Perjuangan News & The Voice of PDI Perjuangan. Website PDI Perjuangan, Blog PDI Perjuangan, Portal PDI Perjuangan, Situs PDI Perjuangan, Group PDI Perjuangan, Milis PDI Perjuangan, Mailing List PDI Perjuangan, Wiki PDI Perjuangan, Underbow PDI Perjuangan, Ormas PDI Perjuangan, Organisasi Sayap PDI Perjuangan.

Name:
Location: NEGARA KESATUAN, REPUBLIK INDONESIA, Indonesia

admint.pdiperjuangan@googlemail.com

Kirimkan Berita dan Foto Dari DPC/DPD Anda ke: admint.pdiperjuangan@googlemail.com. Berita yang menarik akan dimuat di website ini.

Saturday, June 02, 2007

Supported Links !

  • Kumpulan Website PDI Perjuangan
  • JOIN MAILING LIST PDI PERJUANGAN 28
  • Satu Tahun Lapindo

    Satu Tahun Terlewat Sia-Sia
    Jawa Pos, Selasa, 29 Mei 2007



    JAKARTA - Setahun sudah lumpur panas Lapindo menyembur. Namun, belum tampak tanda-tanda semburan tersebut akan berhenti. Berbagai upaya yang telah dilakukan pun belum menampakkan hasil nyata.

    Direktur Eksekutif Nasional Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Chalid Muhammad bahkan menyatakan, masa setahun itu adalah waktu yang terbuang percuma. "Setahun yang sia-sia dan tidak serius. Yang terjadi justru semakin meresahkan warga dalam radius yang lebih luas," ujarnya di Jakarta kemarin.

    Berdasar data Bappenas, kerugian selama sembilan bulan mencapai Rp 30 triliun hingga Rp 33 triliun. Berarti, setiap bulan sejak lumpur kali pertama muncul pada 29 Mei 2006, kerugian yang ditimbulkan sekitar Rp 3,3 triliun. Kalau sekarang sudah setahun dibiarkan, kerugian diperkirakan sudah mencapai hampir Rp 40 triliun.

    Kerugian tersebut hampir pasti terus bertambah. Lumpur yang kini menggenangi lebih dari 717,072 hektare perumahan dan areal persawahan di wilayah 11 desa belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Semburan lumpur yang awalnya hanya sekitar 5.000 meter kubik/hari terus meningkat menjadi 50 ribu meter kubik/hari dan terus meningkat lagi hingga 126 ribu meter kubik/hari. Jika satu truk bisa mengangkut maksimal lima meter kubik, diperlukan 25 ribu truk untuk mengangkut lumpur Lapindo.

    Menurut Chalid, sedikitnya ada empat alasan mengapa waktu setahun yang telah dilewati untuk menyumbat lumpur sia-sia. Pertama, tidak terlihat upaya maksimal untuk menghentikan semburan lumpur. "Upaya yang ada tidak lebih untuk menunjukkan bahwa sudah ada usaha yang dilakukan. Walaupun, mereka tidak yakin bahwa itu tidak efektif," ujarnya.

    Yang diharapkan adalah adanya mobilisasi alat serta ahli untuk menangani.

    Alasan kedua, kata dia, tidak ada keseriusan mempelajari dampak semburan tersebut. Hal itu diindikasikan oleh masih banyaknya korban yang belum menerima ganti rugi, korban yang terkatung-katung nasibnya yang masih tinggal di penampungan di Pasar Porong, serta masih adanya demo-demo warga yang menjadi korban.

    Tidak adanya pihak yang menyatakan bertanggung jawab secara mutlak disebut Chalid sebagai alasan ketiga. Bahkan, yang lebih parah, semburan lumpur tersebut justru digiring menjadi bencana alam yang penanganannya menggunakan uang negara. "Tidak ada yang bertanggung jawab. Rakyat sudah susah, tapi uang negara justru digunakan untuk membayar yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang lain," ungkapnya.

    Alasan keempat, kata dia, kasus pidana yang tidak jelas juntrungnya. Penyelesaian melalui jalur hukum tersebut hanya disibukkan dengan bolak-balik berkas dari penyidik dan kejaksaan. "Yang menjadi tersangka pun hanya level GM (general manager) ke bawah. Pemilik perusahaannya malah tidak. Jadi, secara umum, setahun ini sia-sia," tegasnya.

    Kondisi seperti itu, jelas Chalid, tidak dibiarkan berlarut-larut. "Pemerintah dan Lapindo harus stop playing the game," ujarnya.

    Selain itu, pemerintah harus menunjukkan keseriusan dengan memanggil pihak Lapindo, Medco, serta Santos (pemilik saham di Sumur Banjar Panji I) untuk segera menuntaskan masalah tersebut. "Pemerintah harus meminta tanggung jawab mutlak. Jika tidak, mereka (Lapindo, Red) harus di-black list dan aset-asetnya disita untuk membayar ganti rugi," katanya.

    Chalid juga menyoroti BPLS yang dibentuk pemerintah melalui Perpres Nomor 14 Tahun 2007 yang dianggap tidak berbeda dari tim nasional yang digantikan. Tim yang ada seharusnya merupakan tim independen yang berisi para ahli dan netral. Meski demikian, tim itu harus mempunyai otoritas untuk mempercepat pembayaran kompensasi.

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) justru menilai, lambannya penanganan yang dilakukan pemerintah merupakan wujud ketidakmampuan mereka. "Pemerintah seperti mempertontonkan sinetron ketidakmampuannya. Kayak mati akal, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih dari sekadar lamban, sampai tidak ada kata yang pas untuk menggambarkannya," ujar Koordinator Nasional Jatam Siti Maemunah kepada koran ini tadi malam.

    Dia juga mempersoalkan tanggapan Presiden SBY yang dinilai tidak menganggap masalah semburan lumpur tersebut sebagai masalah serius. "Bandingkan ketika SBY yang merasa terganggu image-nya oleh pernyataan Amien Rais (tentang aliran dana DKP, Red), sehingga sampai perlu mengadakan jumpa pers khusus. Tapi, dengan semburan ini?" katanya penuh tanya.

    Munculnya semburan lumpur tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi pebisnis migas dan melindungi masyarakat jika penambangan itu berada di kawasan padat huni.

    Padahal, kata Siti, terdapat 49 blok migas milik di Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan yang mencakup 30 desa. "Itu memiliki risiko yang sama (dengan yang sekarang). Selama ini, pemerintah tidak punya mekanisme preventif jika terjadi bencana migas di kawasan padat huni," ungkapnya.

    Siti mengaku tidak bisa membayangkan prediksi yang menyebutkan semburan lumpur baru berhenti setelah 30 tahun. Sebab, hingga saat ini, catatan kerusakan sudah mencapai 717,072 hektare.

    Sementara itu, dari perspektif hukum lingkungan, menurut Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Rhino Subagjo, terdapat cacat hukum dalam penyusunan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) PT Lapindo Brantas.

    Sebab, kata dia, dalam amdal itu terdapat mekanisme yang dilakukan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan. "Termasuk penanganannya. Jadi, kan sudah bisa diantisipasi sebelumnya," jelasnya.

    Dengan parameter itu, ujar Rhino, diyakini bahwa amdal yang ada tidak disusun secara baik. Selain itu, seharusnya ketika penyusunan amdal, ada konsultasi dengan masyarakat sekitar. "Saya kira dulu (konsultasi) itu tidak ada. Jadi, dalam hal ini, pemerintah lalai," ujarnya.

    Selain itu, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain yang menjadi dampak semburan tersebut. Menurut dia, pemerintah melalui BPLS hanya berupaya menahan laju lumpur agar tidak meluas. "Padahal, dampaknya juga mencakup aspek ekonomi, bisnis, serta ekologi," tegasnya.

    Tentang ganti rugi, jelas dia, seharusnya korban tidak hanya mendapatkan ganti rugi atas tempat tinggalnya. Kerugian mereka yang tercabut dari akar budaya dan kehidupan sosial juga harus diperhitungkan. "Kalau yang fisik, itu harus cash and carry. Tapi, yang lain, besarannya tak ternilai. Lapindo juga harus membayar kerugian lingkungan ke negara," katanya. (fal)

    Labels:

    0 Comments:

    Post a Comment

    << Home

    Subscribe to pdi-perjuangan_28
    Powered by groups.yahoo.com