WEBSITE PDI PERJUANGAN

The Pioneer of PDI Perjuangan News & The Voice of PDI Perjuangan. Website PDI Perjuangan, Blog PDI Perjuangan, Portal PDI Perjuangan, Situs PDI Perjuangan, Group PDI Perjuangan, Milis PDI Perjuangan, Mailing List PDI Perjuangan, Wiki PDI Perjuangan, Underbow PDI Perjuangan, Ormas PDI Perjuangan, Organisasi Sayap PDI Perjuangan.

Name:
Location: NEGARA KESATUAN, REPUBLIK INDONESIA, Indonesia

admint.pdiperjuangan@googlemail.com

Kirimkan Berita dan Foto Dari DPC/DPD Anda ke: admint.pdiperjuangan@googlemail.com. Berita yang menarik akan dimuat di website ini.

Friday, March 23, 2007

Supported Links !

  • Kumpulan Website PDI Perjuangan
  • JOIN MAILING LIST PDI PERJUANGAN 28
  • Loyalitas Pemilih Megawati

    Rivalitas SBY-Mega
    Suara Merdeka, Rabu, 21 Maret 2007

    SEMINGGU terakhir, jagat media massa di Indonesia digegerkan draft RUU pemilihan presiden yang dirancang tim Departemen Dalam Negeri. Dalam draft tersebut, disebutkan bahwa syarat pendidikan calon presiden minimal S-1 atau sederajat. Ini berarti ada peningkatan dibanding syarat pendidikan calon presiden pada pilpres 2009, yang hanya mensyaratkan ijasah SLTA.

    Tentu saja, syarat ini menimbulkan pro dan kontra. Prof Dr Amien Rais, mantan ketua MPR dan calon presiden 2004, mendukung gagasan tersebut. Menurut Amien, gelar S-1 bisa membuat seorang pemimpin berpola pikir rasional dan mampu mengambil kebijakan secara sistematis, sebab dalam dunia akademis mereka sudah terbiasa dengan menganalisis, mencari sintesis dan menemukan konklusi dari sebuah fenomena.
    Hal yang sama juga dikemukakan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah. Menurutnya, persyaratan S-1 bagi capres itu bisa meningkatkan kualitas demokrasi dan seiring dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia. Lagian, belakangan ini sudah banyak anak bangsa yang bergelar S-1. Seakan menjawab penolakan dari PDI-P, Eep dengan santai berucap: "Megawati kan bisa sekolah lagi".

    Hanya saja, apakah persolannya sesederhana itu. Sebab, pertama, baik Amien maupun Eep sama-sama tidak yakin bahwa pendidikan tinggi bisa menjamin seorang pemimpin lebih baik. Kedua, apakah persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan presidennya, sehingga solusinya adalah dengan meningkatkan persyaratan pendidikan bagi calon presiden.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah bergelar doktor, dan Yusuf Kalla bergelar doktorandus. Apakah kedua pemimpin ini lebih baik dengan presiden dan wakil presiden sebelumnya? Belum tentu. SBY misalnya, bergelar doktor pertanian dari perguruan tinggi ternama di negeri ini, IPB. Namun, para petani ramai-ramai mengeluhkan persolan pertanian justru ketika dipimpin oleh SBY. Harga pupuk sangat mahal di musim tanam, harga gabah sangat rendah di musim panen, dan harga beras sangat mahal di sepanjang musim. Begitu juga JK yang lulusan sarjana ekonomi, justru banyak pengamat ekonomi menilai sektor riil tidak bergerak ketika dia menjadi bagian dari kepemimpinan bangsa ini.

    Belum lagi kalau bicara soal demokrasi. Para pengamat agaknya harus sadar, bahwa pilihan atas sistem politik demokrasi itu berarti kita harus menerima aseptabilitas lebih penting ketimbang kualitas. Kalau gelar kesarjanaan itu lebih penting ketimbang figur calon, mungkin pasangan Amien Rais pada pilpres 2004 bisa menang, setidaknya masuk ke putaran kedua mengalahkan pasangan Megawati. Faktanya, suara Amien hampir terpuruk jauh dibawah pasangan Megawati dan Wiranto. Pengalaman pilpres 2004 ini semestinya menjadi pendidikan berharga bagi para petinggi negara, bahwa pendidikan bukanlah tolok ukur terpenting bagi bangsa ini dalam memilih seorang pemimpin.

    Lalu apa? Integritas moral, kepekaan hati, dan pemihakan pemimpin terhadap rakyatnya. Inilah problem kepemimpinan yang tidak banyak dimiliki oleh para pemimpin kita selama ini. Ditengah-tengah rakyat kesulitan membeli sembako, pemerintah justru menaikkan harga BBM sampai seratus persen yang berdampak pada semakin naiknya harga-harga sembako. Di tengah-tengah kesulitan para petani memperoleh pupuk di musim tanam, pemerintah justru membuat regulasi yang berbelit-belit bagi petani untuk memperoleh pupuk. Sangat ironis, memang. Oleh karena itu, yang dibutuhkan pemimpin bangsa sekarang ini bukan sekedar gelar kesarjanaan. Bangsa Indonesia lebih membutuhkan pemimpin yang memiliki hati nurani.

    Rivalitas

    Kalau gelar kesarjanaan tidak begitu urgen, mengapa draft RUU Pemilu mensyaratkan pendidikan S-1 bagi calon presiden? Berbagai jawaban spekulatif pun akhirnya tidak bisa dihindari. Salah satu yang menguat adalah, hal ini berkaitan dengan rivalitas perebutan kursi kepresidenan pada Pilpres 2009. Sebagian kalangan bahkan menuduh ada konspirasi sistematis untuk menjegal Megawati pada pilpres 2009.

    Spekulasi di atas bukanlah tanpa dasar. Pertama, yang mempersiapkan RUU Pemilu adalah Departemen Dalam Negeri. Sementara itu, siapa pun pemerhati politik di negeri ini mengetahui secara persis bahwa Menteri Dalam Negeri M MaĆ­ruf adalah mantan salah satu pentolan tim sukses pasangan SBY-Kalla. Akibatnya, orang dengan mudah memaknai RUU Pemilu itu sebagai bentuk kebijakan yang menguntungkan bagi sekelompok calon presiden tertentu, dan merugikan bagi calon presiden yang lain: Megawati.

    Kedua, dalam berbagai literatur ilmu politik, sistem pemilu dan prosedur pemilihan adalah instrumen yang paling mudah untuk melakukan rekayasa politik. Melalui sistem dan prosedur pemilihan, para pembuat kebijakan dan pelaksana pemilu bisa menguntungkan partai dan kelompok tertentu, atau sebaliknya. Oleh karena itu, ketika menulis buku monumentalnya, Pippa Norris memberi judul bukunya Electoral Engineering, Voting Rules and Political Behavior (2006). Bahkan, akibat aturan pemilu yang bisa dipermainkan itu, tak kecuali di Amerika Serikat, suara para pemilih bisa dicuri oleh aturan pemilihan yang tidak demokratis (Spencer Overton, Stealing Democracy, 2006).

    Memang, Mendagri bisa saja bilang bahwa RUU itu baru draft awal. Wakil Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, pagi-pagi juga bisa mengklarifikasi bahwa persyaratan kesarjanaan tidak begitu penting dan harus mempertimbangkan variabel waktu. Bahkan, Presiden SBY melalui Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menegaskan tidak ada niatan sama sekali dari Presiden untuk menjadikan S-1 sebagai persyaratan capres. Namun, draft itu justru menunjukkan tidak adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mengakomodasi semua potensi anak bangsa. Apalagi, sebagian masyarakat sudah terlanjur sakit hati.

    Eliminasi Megawati

    Pertanyaannya, kalau teori spekulasi di atas benar, apakah Megawati begitu menakutkan sehingga ia harus dijegal? Dengan kata lain, apakah kinerja Presiden SBY begitu jelek sehingga orang di sekitarnya ketakutan kalau kinerja presiden SBY itu dibandingkan dengan kinerja presiden sebelumnya, dan untuk itu harus mengeliminasi pencalonan Megawati dari perebutan kursi kepresidenan pada Pilpres 2009? Tidakkah kekalahan Megawati pada Pilpres 2004 lalu sudah cukup bukti bahwa anak Presiden Soekarno itu sudah tidak lagi diterima oleh publik?

    Survei yang dilakukan Pusat Studi Demokrasi dan HAM yang dilakukan pada Agustus 2006 di 13 Provinsi tampaknya menjawab pertanyaan-pertannyaan di atas. Dari survei terhadap 2000 responden itu, tampak bahwa sebagian besar pemilih mengevaluasi dukungannya baik terhadap SBY maupun Partai Demokrat (PD). Misalnya, responden yang pada pilpres II memilih pasangan SBY-Kalla, hanya 29 persen yang sudah memastikan akan memilih SBY pada Pilpres 2009. Untuk responden yang pada Pilpres I memilih pasangan SBY-Kalla, hanya 39 persen yang sudah memutuskan akan memilih SBY kembali pada Pilpres 2009.

    Sebaliknya, loyalitas pemilih Megawati masih sangat tinggi. Untuk responden yang pada pilpres II memilih Megawati, 54 persen lebih sudah memutuskan tetap akan memilih Megawati pada Pilpres 2009. Untuk responden yang pada pilpres I memilih Megawati, lebih 61 persen yang sudah memutuskan tetap akan memilih Megawati pada pilpres 2009.

    Bahkan, pergeseran pilihan yang cukup drastis juga terjadi pada pemilu legislatif. Responden yang pada Pileg 2004 memilih PD, hanya 16 persen yang sudah memutuskan tetap memilih PD pada Pileg 2009. Selebihnya, 22 persen memastikan akan pindah ke partai lain, dan sisanya belum menentukan pilihan atau masih ragu-ragu. Sebaliknya, responden yang pada pileg 2004 memilih PDI-P, 48 persen sudah memastikan akan tetap memilih PDI-P pada Pileg 2009. Sementara responden yang pada Pileg 2004 memilih Golkar, lebih dari 51 persen yang tetap akan memilih Golkar kembali pada pileg 2009.

    Tragisnya, tingkat dukungan terhadap SBY turun drastis. Hanya 22 persen responden yang sudah memastikan akan memilih SBY, sebaliknya, yang sudah memastikan memilih Megawati angkanya hampir 21 persen. Artinya, tingkat dukungan SBY dan Megawati dalam satu tahun terakhir hampir seimbang. Jika Megawati bisa memainkan peran secara tepat, bukan tidak mungkin ia bisa merebut kembali kursi presiden yang pada Pemilu 2004 diambil oleh SBY.

    Celakanya lagi, tidak sedikit orang di seputar SBY yang tidak bisa belajar dari pengalaman masa lalu. Dulu, Megawati berhasil menaikkan pamornya karena ia diperlakukan tidak adil oleh Presiden Soeharto. Hampir tiga tahun lalu, SBY pamornya naik secara tajam ketika berhasil memainkan peran secara tepat ketika mendapat perlakukan tidak adil dari orang di sekitar Presiden Megawati. Sekarang, Megawati tampaknya akan memperoleh gain yang sama.

    Maka, sangatlah bijak ketika Megawati merespon persyaratan S-1 bagi capres dengan pernyataan yang mengundang simpati: "Saya ini bukan orang sekolahan". (Muhammad Asfar, dosen FISIP Unair dan direktur PuSDeHAM, Surabaya-64)

    Labels:

    0 Comments:

    Post a Comment

    << Home

    Subscribe to pdi-perjuangan_28
    Powered by groups.yahoo.com