Banyaknya menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang menjadi tim sukses Capres-Cawapres

Megawati Kritik Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang Jadi Tim Sukses Capres-Cawapres
Banyaknya menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang menjadi tim sukses capres-cawapres dikritik Megawati Soekarnoputri. Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menegaskan, saat pemilihan presiden (pilpres), para anggota tim sukses seharusnya tidak boleh berasal dari anggota kabinet.
''Itu mengurangi secara maksimal kinerja pemerintahan,'' tegas Mega dalam sesi diskusi saat meresmikan Mega-Prabowo Media Centre (MPMC) di Jakarta, kemarin (28/5).
Turut mendampingi Mega, cawapres Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufiq Kiemas, serta sejumlah pimpinan PDIP dan Gerindra.
Mega mengakui aktivitas rutin pemerintahan memang terus berjalan. Roda pemerintahan tidak akan efektif bila para menteri sibuk berkampanye. ''Saya prihatin. Rasanya pemimpin nasional sudah tidak memikirkan jalannya pemerintahan ini,'' katanya. ''Kalau (tanggung jawab menteri di departemen, Red) cuma menyerahkannya kepada Dirjen, cara pengawasannya seperti apa ya? Sebaiknya ini jangan terjadi lagi,'' ungkapnya.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos pada 22 Mei lalu, di antara 33 anggota Kabinet Indonesia Bersatu, sedikitnya 21 menteri memperlihatkan kecenderungan dukungan politis kepada salah satu capres. Sebanyak 18 menteri, termasuk Mensesneg Hatta Rajasa dan Menteri PDT M. Lukman Edy, terang-terangan mendukung SBY-Boediono. Sementara itu, tiga menteri, termasuk Menteri Perindustrian Fahmi Idris, menjadi ketua tim pemenangan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto.
Juru Bicara Kepresidenan Andi A. Mallarangeng menggaransi bahwa Presiden SBY akan memprioritaskan kinerja pemerintahan saat pilpres. Dia meminta agar masyarakat tidak mengkhawatirkan aktivitas politik para menteri dalam kampanye pilpres. Sebab, semua sudah memiliki mekanisme dan aturan. Ada pun jatah cuti para menteri untuk kampanye adalah sehari dalam seminggu (hari efektif).
Sementara itu, sejumlah LSM antikorupsi juga menyoroti aktivitas para menteri yang menjadi tim sukses capres. Menurut mereka, para menteri itu berpotensi memolitisasi anggaran departemen dengan tujuan mendongkrak citra capres incumbent.
Itu dikemukakan perwakilan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin. Anggota Bawaslu Wahidah Suaib dan Wirdianingsih ikut mendampingi mereka.
Aktivis Seknas Fitra Yuna Farhan mengatakan, pada masa-masa kampanye, belanja bantuan sosial cenderung meningkat. Pada 2008, dana bantuan sosial sebesar 20,1 persen dari belanja kementerian atau Rp 63 triliun. Pada 2009, jumlah tersebut meningkat menjadi 24,4 persen atau Rp 78,3 triliun.
Yuna mengakui, dana bantuan sosial tersebut dibutuhkan masyarakat. Namun, tidak semua bantuan sosial itu jelas penggunaannya. Banyak belanja bantuan sosial yang dilakukan departemen dan lembaga kementerian tidak akuntabel dan berpeluang disalahgunakan. ''Apalagi, waktu pencairan dan pemberian dana tersebut seolah sudah diatur agar bertepatan dengan pelaksanaan pemilu dan pilpres,'' katanya.
Yuna mencontohkan, voucher yang dikeluarkan Departemen Agama (Depag). Melalui program Bantuan Peningkatan Mutu Madrasah (BPMM), setiap madrasah mendapatkan bantuan Rp 50 juta untuk tingkat ibtidaiyah (SD), Rp 60 juta tingkat tsanawiyah (SMP), dan Rp 75 juta untuk aliyah (SMA). ''Penentuan madrasah mana yang diberi merupakan diskresi (kewenangan pejabat publik) menteri sebagai kuasa pengguna saham. Karena itu, yang dipilih adalah madrasah-madrasah dengan basis massa yang besar dan berpotensi meraup dukungan,'' katanya.
Demikian juga, kata Yuna, cairnya tunjangan guru dan dosen plus gaji ke-13 pada bulan depan. Itu, kata dia, juga menjadi salah satu modus mobilisasi pegawai negeri. ''Modus seperti ini biasa disebut political budget cycle yang biasa terjadi pada anggaran negara menjelang pemilu,'' katanya.
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 29 Mei 2009
Banyaknya menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang menjadi tim sukses capres-cawapres dikritik Megawati Soekarnoputri. Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menegaskan, saat pemilihan presiden (pilpres), para anggota tim sukses seharusnya tidak boleh berasal dari anggota kabinet.
''Itu mengurangi secara maksimal kinerja pemerintahan,'' tegas Mega dalam sesi diskusi saat meresmikan Mega-Prabowo Media Centre (MPMC) di Jakarta, kemarin (28/5).
Turut mendampingi Mega, cawapres Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufiq Kiemas, serta sejumlah pimpinan PDIP dan Gerindra.
Mega mengakui aktivitas rutin pemerintahan memang terus berjalan. Roda pemerintahan tidak akan efektif bila para menteri sibuk berkampanye. ''Saya prihatin. Rasanya pemimpin nasional sudah tidak memikirkan jalannya pemerintahan ini,'' katanya. ''Kalau (tanggung jawab menteri di departemen, Red) cuma menyerahkannya kepada Dirjen, cara pengawasannya seperti apa ya? Sebaiknya ini jangan terjadi lagi,'' ungkapnya.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos pada 22 Mei lalu, di antara 33 anggota Kabinet Indonesia Bersatu, sedikitnya 21 menteri memperlihatkan kecenderungan dukungan politis kepada salah satu capres. Sebanyak 18 menteri, termasuk Mensesneg Hatta Rajasa dan Menteri PDT M. Lukman Edy, terang-terangan mendukung SBY-Boediono. Sementara itu, tiga menteri, termasuk Menteri Perindustrian Fahmi Idris, menjadi ketua tim pemenangan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto.
Juru Bicara Kepresidenan Andi A. Mallarangeng menggaransi bahwa Presiden SBY akan memprioritaskan kinerja pemerintahan saat pilpres. Dia meminta agar masyarakat tidak mengkhawatirkan aktivitas politik para menteri dalam kampanye pilpres. Sebab, semua sudah memiliki mekanisme dan aturan. Ada pun jatah cuti para menteri untuk kampanye adalah sehari dalam seminggu (hari efektif).
Sementara itu, sejumlah LSM antikorupsi juga menyoroti aktivitas para menteri yang menjadi tim sukses capres. Menurut mereka, para menteri itu berpotensi memolitisasi anggaran departemen dengan tujuan mendongkrak citra capres incumbent.
Itu dikemukakan perwakilan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin. Anggota Bawaslu Wahidah Suaib dan Wirdianingsih ikut mendampingi mereka.
Aktivis Seknas Fitra Yuna Farhan mengatakan, pada masa-masa kampanye, belanja bantuan sosial cenderung meningkat. Pada 2008, dana bantuan sosial sebesar 20,1 persen dari belanja kementerian atau Rp 63 triliun. Pada 2009, jumlah tersebut meningkat menjadi 24,4 persen atau Rp 78,3 triliun.
Yuna mengakui, dana bantuan sosial tersebut dibutuhkan masyarakat. Namun, tidak semua bantuan sosial itu jelas penggunaannya. Banyak belanja bantuan sosial yang dilakukan departemen dan lembaga kementerian tidak akuntabel dan berpeluang disalahgunakan. ''Apalagi, waktu pencairan dan pemberian dana tersebut seolah sudah diatur agar bertepatan dengan pelaksanaan pemilu dan pilpres,'' katanya.
Yuna mencontohkan, voucher yang dikeluarkan Departemen Agama (Depag). Melalui program Bantuan Peningkatan Mutu Madrasah (BPMM), setiap madrasah mendapatkan bantuan Rp 50 juta untuk tingkat ibtidaiyah (SD), Rp 60 juta tingkat tsanawiyah (SMP), dan Rp 75 juta untuk aliyah (SMA). ''Penentuan madrasah mana yang diberi merupakan diskresi (kewenangan pejabat publik) menteri sebagai kuasa pengguna saham. Karena itu, yang dipilih adalah madrasah-madrasah dengan basis massa yang besar dan berpotensi meraup dukungan,'' katanya.
Demikian juga, kata Yuna, cairnya tunjangan guru dan dosen plus gaji ke-13 pada bulan depan. Itu, kata dia, juga menjadi salah satu modus mobilisasi pegawai negeri. ''Modus seperti ini biasa disebut political budget cycle yang biasa terjadi pada anggaran negara menjelang pemilu,'' katanya.
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 29 Mei 2009
Labels: Gerindra, Megawati, Taufik Kiemas
2 Comments:
CAPRES DAN CAWAPRES MULAI SALING SERANG
Hardikan, kecaman, hinaan mulai dilakukan para capres dan cawapres. Tim sukses pun tak mau ketinggalan, mulai melancarkan aksi balasan.
Mendengar kata demi kata aksi tersebut, hati serasa miris jadinya. mereka saling memburukkan, membingungkan saling serang mempertontonkan pola kampanye yang tidak sehat.
Sempitnya fikiran tim sukses pemenangan capres dan cawapres tentang strategi dan karakter calon yang diusung semakin terlihat jelas. Mereka tidak menjelaskan kepada publik apa visi dan misi capres dan cawapresnya. Yang terjadi saling serang, saling memburukkan, debat kusir. Semua yang dilakukan justru akan semakin memperparah keadaan.
Dalam mata khayal, terbayang bagaimana jika budaya saling menyerang ini berimbas ke tingkat bawah. Semua bisa menimbulkan gesekan antar simpatisan calon. Yang kalah akan terjajah, marah, sehingga menimbulkan tawuran antar pendukung.
sumber:http://asyiknyaduniakita.blogspot.com/
Golput Sebagai Perubahan
Golput pada Pilpres 2009 adalah siasat kebudayaan masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
golput adalah pilihan sikap politik masyarakat dimana oligarki politik masih mencekram demokrasi di Indonesia
Post a Comment
<< Home